Oleh A.A. Navis
KALAU
beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis,
Tuan akan berhenti di dekat pasar. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan
sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang
kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan nanti akan Tuan
temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir
melalui empat buah pancuran mandi. Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan
temui seorang tua yang biasanya duduk di sana dengan segala tingkah ketuaannya
dan ketaatannya beribadat.
Sudah
bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya
Kakek. Sebagai penjaga surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari
sedekah yang dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat
seperempat dari hasil pemungutan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun
orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu
dikenal. Ia lebih dikenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan
pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah
minta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan
pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang
minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling
sering diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum.
Tapi
kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah
surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat
bermain, memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan
kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari. Jika
Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu
kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat
berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan
mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia
sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak di jaga lagi.
Dan
biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal
kebenarannya. Beginilah kisahnya:
Sekali
hari aku datang pula mengupah Kakek. Biasanya Kakek gembira menerimaku, karena
aku suka memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek begitu muram. Di sudut benar ia
duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu ke
depan, seolah-olah ada sesuatu yang mengamuk pikirannya. Sebuah belek susu yang
berisi minyak kelapa, sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur
tua berserakan di sekitar kaki Kakek. Tidak pernah aku melihat Kakek begitu
durja dan belum pernah salamku tak disahutinya seperti saat itu. Kemudian aku
duduk di sampingnya dan aku jamah pisau itu. Dan aku tanya Kakek,
“Pisau
siapa, Kek?”
“Ajo
Sidi.”
“Ajo
Sidi?”
Kakek
tak menyahut. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak
ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo
Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari.
Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai
pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku–pelaku yang
diceritakannya menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi pameo
akhirnya. Ada-ada saja orang-orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak
pelaku—pelaku ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan bagaimana sifat seekor
katak, dan kebetulan ada pula seorang yang ketagihan menjadi pemimpin
berkelakuan seperti katak itu, maka untuk selanjutnya pimpinan tersebut kami
sebut pimpinan katak.
Tiba-tiba
aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi
telah membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan itukah yang mendurjakan Kakek?
Aku ingin tahu. Lalu aku tanya Kakek lagi.
“Apa
ceritanya, Kek?”
“Siapa?”
“Ajo
Sidi.”
“Kurang
ajar dia,” Kakek menjawab.
“Kenapa?”
“Mudah-mudahan
pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggorok tenggorokannya.”
“Kakek
marah?”
“Marah?
Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah
lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadatku
rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal
kepada Tuhan. Sudah begitu lama aku menyerahkan diri kepada-Nya. Dan Tuhan akan
mengasihi orang yang sabar dan tawakal.”
Ingin
tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya
lagi Kakek.
“Bagaimana
katanya, Kek?”
Tapi
Kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali. Karena aku telah berulang-ulang
bertanya, lalu ia yang bertanya padaku.
“Kau
kenal padaku, bukan? Sedari kau kecil aku sudah di sini. Sedari mudaku, bukan?
Kau tahu apa yang kulakukan semua, bukan? Terkutukkah perbuatanku? Dikutuki
Tuhankah semua pekerjaanku?”
Tapi
aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah membuka
mulutnya, dia takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan pertanyaannya sendiri.
“Sedari
muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya isteri, punya anak, punya keluarga
seperti orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari
kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah
Subhanahu Wataala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan
aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka.
Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau
selama hidupku aku mengabdi kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esokku, karena aku
yakin Tuhan itu ada dan pengasih dan penyayang kepada umatnya yang tawakal. Aku
bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari
tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku
puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya. Alhamdulillah kataku bila aku menerima
karunia-Nya. Astagfirullah kataku bila aku terkejut. Masya Allah kataku bila
aku kagum. Apa salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia
terkutuk.”
Ketika
Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku.
“Ia
katakan Kakek begitu, Kek?”
“Ia
tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya.”
Dan
aku melihat mata Kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya. Dalam hatiku aku
mengumpati Ajo Sidi yang begitu memukuli hati Kakek. Dan ingin tahuku
menjadikan aku nyinyir bertanya. Dan akhirnya Kakek bercerita lagi.
“Pada
suatu waktu,” kata Ajo Sidi memulai, “di akhirat
Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas
di samping-Nya. Di tangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala manusia.
Begitu banyak orang yang diperiksa. Maklumlah di mana-mana ada perang. Dan di
antara orang-orang yang diperiksa itu ada seorang yang di dunia di namai Haji
Saleh. Haji Saleh itu tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begitu yakin akan
dimasukkan ke dalam surga. Kedua tangannya ditopangkan di pinggang sambil
membusungkan dada dan menekurkan kepala ke kuduk. Ketika dilihatnya orang-orang
yang masuk neraka, bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan ketika ia melihat
orang yang masuk ke surga, ia melambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan
‘selamat ketemu nanti’. Bagai tak habis-habisnya orang yang berantri begitu
panjangnya. Susut di muka, bertambah yang di belakang. Dan Tuhan memeriksa
dengan segala sifat-Nya.
Akhirnya
sampailah giliran Haji Saleh. Sambil tersenyum bangga ia menyembah Tuhan. Lalu
Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.
‘Engkau?’
‘Aku
Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.’
‘Aku
tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.’
‘Ya,
Tuhanku.’
‘Apa
kerjamu di dunia?’
‘Aku
menyembah Engkau selalu, Tuhanku.’
‘Lain?’
‘Setiap
hari, setiap malam. Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu.’
‘Lain.’
‘Ya,
Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu,
menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu
menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu
untuk menginsafkan umat-Mu.’
‘Lain?’
Haji
Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia kerjakan.
Tapi ia insaf, pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang
belum dikatakannya. Tapi menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya.
Ia tak tahu lagi apa yang harus dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan
kepalanya. Api neraka tiba-tiba menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh.
Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya mengalir, diisap kering oleh hawa
panas neraka itu.
‘Lain
lagi?’ tanya Tuhan.
‘Sudah
hamba-Mu ceritakan semuanya, o, Tuhan yang Maha besar, lagi Pengasih dan Penyayang,
Adil dan Mahatahu.’
Haji
Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat merendahkan diri dan memuji Tuhan
dengan pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat lembut terhadapnya dan tidak salah
tanya kepadanya.
Tapi
Tuhan bertanya lagi: ‘Tak ada lagi?’
‘O,
o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu.’
‘Lain?’
‘Sudah
kuceritakan semuanya, o, Tuhanku. Tapi kalau ada yang lupa aku katakan, aku pun
bersyukur karena Engkaulah Maha tahu.’
‘Sungguh
tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang kauceritakan tadi?’
‘Ya,
itulah semuanya, Tuhanku.’
‘Masuk
kamu.’
Dan
malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh tidak
mengerti kenapa ia dibawa ke neraka. Ia tak mengerti apa yang dikehendaki Tuhan
daripadanya dan ia percaya Tuhan tidak silap.
Alangkah
tercengang Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia
terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti dengan
keadaan dirinya, karena semua orang yang dilihatnya di neraka itu tak kurang
ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empat
belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka,
dan bertanya kenapa mereka dinerakakan semuanya. Tapi sebagaimana Haji Saleh,
orang-orang itu pun, tak mengerti juga.
‘Bagaimana
Tuhan kita ini?’ kata Haji Saleh kemudian, ‘Bukankah kita di suruh-Nya taat
beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita.
Tapi kini kita dimasukkan-Nya ke neraka.’
‘Ya,
kami juga heran. Tengoklah itu orang-orang senegeri dengan kita semua, dan tak
kurang ketaatannya beribadat,’ kata salah seorang diantaranya.
‘Ini
sungguh tidak adil.’
‘Memang
tidak adil,’ kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.
‘Kalau
begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan kita.’
‘Kita
harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.’
‘Benar.
Benar. Benar.’ Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.
‘Kalau
Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?’ suatu suara melengking di
dalam kelompok orang banyak itu.
‘Kita
protes. Kita resolusikan,’ kata Haji Saleh.
‘Apa
kita revolusikan juga?’ tanya suara yang lain, yang rupanya di dunia menjadi
pemimpin gerakan revolusioner.
‘Itu
tergantung kepada keadaan,’ kata Haji Saleh. ‘Yang penting sekarang, mari kita
berdemonstrasi menghadap Tuhan.’
‘Cocok
sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita perolah,’
sebuah suara menyela.
‘Setuju.
Setuju. Setuju.’ Mereka bersorak beramai-ramai.
Lalu
mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan.
Dan
Tuhan bertanya, ‘Kalian mau apa?’
Haji
Saleh yang menjadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara
yang menggeletar dan berirama rendah, ia memulai pidatonya:
‘O,
Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang
paling taat beribadat, yang paling taat menyembahmu. Kamilah orang-orang yang
selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu,mempropagandakan keadilan-Mu,
dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami.Tak sesat sedikitpun
kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa setelah kami Engkau
panggil kemari, Engkau memasukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal
yang tak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami
menuntut agar hukuman yang Kaujatuhkan kepada kami ke surga sebagaimana yang
Engkau janjikan dalam Kitab-Mu.’
‘Kalian
di dunia tinggal di mana?’ tanya Tuhan.
‘Kami
ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.’
‘O,
di negeri yang tanahnya subur itu?’
‘Ya,
benarlah itu, Tuhanku.’
‘Tanahnya
yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang
lainnya, bukan?’
‘Benar.
Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.’ Mereka mulai menjawab serentak.
Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah
mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu
‘Di
negeri mana tanahnya begitu subur, sehingga tanaman tumbuh tanpa ditanam?’
‘Benar.
Benar. Benar. Itulah negeri kami.’
‘Di
negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?’
‘Ya.
Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.’
‘Negeri
yang lama diperbudak negeri lain?’
‘Ya,
Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.’
‘Dan
hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke negerinya, bukan?’
‘Benar,
Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.’
‘Di
negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang
hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?’
‘Benar,
Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang penting
bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.’
‘Engkau
rela tetap melarat, bukan?’
‘Benar.
Kami rela sekali, Tuhanku.’
‘Karena
kerelaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?’
‘Sungguhpun
anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu mereka
hafal di luar kepala.’
‘Tapi
seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak dimasukkan ke hatinya, bukan?’
‘Ada,
Tuhanku.’
‘Kalau
ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang
harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan
engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras.
Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat
saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang
aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini
suka pujian, mabuk disembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai,
Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!”
Semua
menjadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa
jalan yang diridai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah
yang akan dikerjakannya di dunia itu salah atau benar. Tapi ia tak berani
bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya saja pada malaikat yang menggiring mereka
itu.
‘Salahkah
menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?’ tanya Haji Saleh.
‘Tidak.
Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut
masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan
kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak isterimu sendiri, sehingga mereka itu
kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis.
Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak
mempedulikan mereka sedikit pun.’”
Demikianlah
cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek. Dan
besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak
pergi menjenguk.
“Siapa
yang meninggal?” tanyaku kaget.
“Kakek.”
“Kakek?”
“Ya.
Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang mengerikan
sekali. Ia menggorok lehernya dengan pisau cukur.”
“Astaga!
Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku yang
tercengang-cengang.
Aku
cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku
tanya dia.
“Ia
sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi.
“Tidak
ia tahu Kakek meninggal?”
“Sudah.
Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.”
“Dan
sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh
perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, “dan sekarang
kemana dia?”
“Kerja.”
“Kerja?”
tanyaku mengulangi hampa.
“Ya,
dia pergi kerja.”
***
Sumber: Buku “Robohnya Surau Kami”, A.A. Navis, Penerbit Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2010
COMMENTS